Bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling banyak digunakan di dunia.
Namun dengan lebih dari miliaran penutur di seluruh dunia, bahasa Mandarin adalah bahasa yang paling banyak memiliki penutur asli.
Saat ini saja, jumlah penduduk Tiongkok mencapai 1,38 miliar, sehingga diperkirakan sekitar 25% dari total penduduk di dunia berbicara bahasa Mandarin.
Dengan semakin besarnya pengaruh Tiongkok di dunia global, banyak orang di seluruh dunia semakin menyadari pentingnya memahami negara itu dengan lebih baik.
Di negara-negara tempat Tiongkok berinvestasi seperti Korea Selatan dan Afrika, minat belajar bahasa Mandarin sedang meningkat pesat.
Mereka percaya, menguasai bahasa akan membantu mereka memahami norma, budaya, dan kebijakan negeri tirai bambu itu sehingga akan memudahkan interaksi.
Sebaliknya, kegagalan memahami bahasa Mandarin akan menghalangi sebuah negara mengambil manfaat penuh dari hubungan ekonomi dengan Tiongkok.
Bagi Indonesia, Tiongkok merupakan mitra dagang dan investor terbesar. Karena itu, SDM dengan kemampuan berbahasa Mandarin memiliki daya saing tinggi.
Tak semua keluarga keturunan Tiongkok di Indonesia bisa berbahasa Mandarin
Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai sekitar 7 juta orang, atau 3,3% dari total populasi di Indonesia. Namun, perkembangan belajar bahasa Mandarin bisa dibilang tak ‘semeriah’ seperti gambaran besar angkanya. Generasi muda dalam keluarga keturunan Tionghoa di Indonesia saat ini, tak banyak yang menguasai bahasa leluhurnya.
Situasi ini memang tak lepas situasi politik di masa lalu.
Dalam upaya untuk menahan penyebaran komunisme, rezim Orde Baru Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto memutuskan untuk membekukan hubungan dengan Tiongkok pada 1967.
Pada rezim tersebut, keluar sejumlah kebijakan menutup sekolah berbahasa Mandarin dan surat kabar berbahasa Mandarin. Dia juga mengeluarkan peraturan untuk memaksa naturalisasi keturunan Tionghoa, sehingga menyebabkan stigmatisasi selama beberapa dekade.
Akibatna, kemampuan berbahasa Mandarin di antara etnis Tionghoa di Indonesia mengalami kemunduran. Sebab mereka percaya, mempelajari bahasa Mandarin sudah tidak berguna lagi.
Pada 1999, Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid mengambil kebijakan untuk menghapuskan kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Setelah itu, dorongan untuk belajar bahasa Mandarin meningkat. Surat kabar beraksara hanzi pun bertambah dengan oplah lumayan besar.
Sekolah privat telah membuka mata pelajaran khusus bahasa Mandarin. Ada juga sekolah dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Sejumlah kampus juga menawarkan mata kuliah bahasa Mandarin.
Jumlah kursus bahasa Mandarin berkembang pesat di empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya di Jawa Timur, Bandung di Jawa Barat, dan Medan di Sumatera Utara pada 2000, menyebar ke 20 provinsi di Indonesia pada 2019.
Keterampilan berbahasa Mandarin untuk masa depan
Bahasa adalah pintu untuk mengenali sebuah negara, sekaligus mengatasi sejumlah hambatan budaya dan bahasa dalam hubungan Indonesia-Tiongkok.
Dengan memahami bahasanya, maka kita bisa lebih mengenal norma dan adat istiadat masyarakat Tiongkok, cara berbisnis, serta kepentingan nasional dan institusional mereka.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar membantu anak-anak kita secara personal dalam kehidupan mereka, tapi juga membentuk hubungan yang lebih bermanfaat antara dua negara.
Baca juga:Bukan Kursus Bahasa Mandarin Biasa, Ini 7 Alasan Join StoryChopsticks