“Mom, I killed someone
I put the gun on his head
He is dead when he pulls the trigger…”
Bohemian Rhapsody, Queen
Lirik di atas adalah lirik lagu terkenal “Bohemian Rhapsody”, sebuah karya fenomenal dari grup musik legendaris Queen pada tahun 1980-an.
Saya rasa, sampai sekarang lagu tersebut masih merupakan karya puncak yang belum tertandingi.
Lagu “Bohemian Rhapsody” diawali dengan acapella yang natural, berlanjut dengan piano liris, lalu musik klasik, hingga akhirnya rock yang menghentak dan kembali ke denting piano di akhir lagu.
Itulah mahakarya yang mengguncangkan dunia.
Versi favorit saya ialah versi awal Queen, ketika sang vokalis Freddie Mercury masih gondrong dan kerap menggunakan eyeliner.
Freddie versi cowok sastra jauh lebih baik ketimbang versi klimis berminyak dengan gelang lengan bergigi. Sepuluh ribu kali!
Selanjutnya “Bohemian Rhapsody” yang fenomenal itu selalu dinyanyikan ulang oleh generasi selanjutnya, entah sudah untuk keberapa kalinya.
Namun versi Faye Wong tidak cukup eksplosif, dan versi Leehom tidak cukup elegan. Versi Putin Trump yang dibuat dengan konyol, terasa agak segar.
Freddie Mercury tidak diragukan lagi adalah seorang superstar di industri rock, dan penolakannya untuk menjelaskan arti lirik Bohemian Rhapsody kepada dunia luar juga merupakan alasan mengapa lagu tersebut ditafsirkan oleh semua orang secara bergantian.
Pasang surut kehidupan Freddie juga ikut mewarnai nasib karyanya.
Hingga kemudian film “Bohemian Rhapsody” yang memenangkan Oscar 2019 sedikit mengungkap sejarah kelahiran Queen yang sudah seperti dewa bagi banyak orang, sekaligus perlahan menguliti kehidupan tragis Freddie yang penuh legenda.
Bohemian Rhapsody dan Freddie sudah banyak dibahas dari berbagai aspek. Namun kali ini, saya ingin berbagi tentang teori di balik penciptaan dan refleksi pendidikan yang dibawanya.
Kenapa seseorang bisa menciptakan karya begitu luar biasa?
Saya harus mengakui bahwa setiap tujuan besar di dunia ini terkait dengan penciptaan.
Penciptaan tak hanya berlaku dalam karya sastra dan seni.
Penciptaan juga dibutuhkan dalam industri yang sedang berkembang seperti teknologi juga memberikan panggung impian bagi banyak orang yang berani berinovasi, bahkan industri tradisional seperti manufaktur, ritel, dan logistik juga telah bertransformasi, sebagai dampak dari jejaring yang terus meluas.
Dua puluh tahun silam, belum ada ponsel pintar di dunia yang sama dengan tempat kita tinggal saat ini. E-commerce baru saja dimulai, begitu juga dengan aplikasi transportasi online, layanan pesan antar, serta aplikasi live streaming.
Namun dalam dua tahun, terjadi perubahan drastis yang dulu tak terbayangkan.
Mereka mulai membayangkan, apa jadinya jika ponsel bisa berfungsi seperti komputer kecil. Seberapa bagus bila kita bisa memesan apapun tanpa harus bepergian.
Sama seperti lebih dari 100 tahun silam, ketika dua bersaudara Wright membayangkan betapa bagusnya jika ada mesin yang membuat manusia bisa terbang seperti burung.
Dan sekarang kita benar-benar bisa terbang!
Di dunia masa depan, mereka yang memimpin tren pastilah mereka yang mampu berimajinasi dan berani membangun masa depan.
Karena itu, refleksi tentang kreativitas memiliki makna yang luar biasa di era sekarang ini.
Namun, tidak ada orang yang dilahirkan dengan kreativitas.
Dengan kata lain, kreativitas adalah kemampuan yang diperoleh yang dapat diperoleh melalui pelatihan berulang.
Tak ada orang terlahir kreatif
Beberapa orang paling kreatif di dunia, seperti JK Rowling, menciptakan kisah Harry Potter ketika dia berusia tiga puluhan.
Steve Jobs kembali ke Apple pada usia 45 tahun dan memimpin revolusi di pasar ponsel.
Bahkan Freddie sendiri juga sudah dua kali mengalami pembubaran band.
Ciptaan mereka disempurnakan dari akumulasi pemikiran dari waktu ke waktu, disublimasikan melalui akumulasi kata-kata dan perbuatan mereka, dan akhirnya mencapai puncak yang sulit dicapai oleh orang biasa.
Ahli saraf Dr. Martha Bain dalam makalahnya terkait studi perkembangan otak menuliskan, dalam proses pembelajaran, jalur saraf (brain the highway) akan menjadi lebih tebal dan semakin tebal, serta memproduksi lebih lebih banyak garis yang akan menghubungkan simpul demi simpul, sehingga membuat proses pembelajaran dengan analogi demi analogi dan berefek pada lompatan asosiasi.
Inilah yang dimaksud dengan : semakin sering kita berpikir, maka kita akan semakin fleksibel.
Baca: The New Brain Science of Learning oleh Dr. Martha S. Burns
Proses menghubungkan banyak simpul saraf ini adalah proses asosiasi dan penciptaan.
Itulah kenapa JK Rowling melihat penyihir kecil bermata hijau di kereta.
Itulah alasan mengapa Jobs memperluas seni estetik di sekolah ke desain unik produk Apple.
Dan itu juga alasan mengapa Freddie bisa menggabungkan liris, rock, dan opera. Penggabungan-penggabungan yang mengejutkan dunia.
Sekarang kita sudah paham pentingnya kreativitas, dan ini semua bisa dipelajari.
Selanjutnya, bagaimana memastikan bahwa anak-anak kita dapat memperoleh cukup kemampuan untuk berkreasi dalam pendidikan?
Ada perbedaan pendapat tentang pertanyaan ini, dan buku teks belum menyediakan jawabannya.
Saya pribadi merasa bahwa menanamkan kreativitas hanya butuh satu hal: cinta.
Jika JK Rowling tidak memiliki passion untuk berfantasi, tidak akan ada Harry Potter.
Jika Steve Jobs tidak memiliki dedikasi untuk mendesain, tidak akan ada gaya Apple.
Jika Freddie tidak memiliki kecintaan yang mendalam pada musik, dia pasti tidak akan melahirkan kara fenomenal seperti Bohemian Rhapsody.
Penelitian Dr. Martha menunjukkan bahwa efektivitas belajar bergantung pada beberapa zat kimia yang disekresikan oleh neuron, seperti dopamin, norepinefrin, serotonin, dan sebagainya.
Zat kimia itu membuat kita tertarik pada hal-hal baru, menikmati kegembiraan berpikir, dan mendorong kita untuk terus-menerus merangsang lebih banyak koneksi saraf, sehingga, suatu hari, merangsang kreativitas yang luar biasa. Singkatnya, itulah sumber gairah kita.
Secara keilmuan neurologi, hal itu sudah terbukti.
Tetapi sayangnya, ‘generasi passion’ ini butuh dukungan tinggi dari lingkungan sekitar.
Perlu suasana belajar yang baik dari teman-teman di sekitarnya, perlu guru unggul yang dapat menemukan minat siswa, perlu lingkungan keluarga yang hangat dan terbuka, dan perlu budaya sosial yang berpikiran terbuka.
Saya pikir di masyarakat saat ini, anak-anak yang cukup beruntung untuk menikmati hal-hal di atas hanya satu dari sejuta, seperti yang dikatakan Tina Seelig, seorang pakar kreativitas dari Universitas Stanford.
Lihat: Kursus kilat dalam kreativitas: Tina Seelig di TEDxStanford
Memang benar bahwa kita dan anak-anak kita tumbuh di lingkungan ang jauh dari kata sempurna, serta tak ada cara praktis untuk mengubahnya.
Namun di tengah banyak ketidaksempurnaan tersebut, yang bisa kita lakukan adalah mengenali dan mendorong kreativitas kreatif anak-anak.
Bahkan jika itu hanya dapat membantu satu atau dua anak, jika mereka menciptakan Harry Potter yang lain, Apple yang lain, Bohemian Rhapsody yang lain, bukankah itu hebat dan layak diupayakan untuk kebaikan di masa depan?
StoryChopsticks lahir dari keyakinan ini.
Tak sekadar ‘tempat les belajar bahasa Mandarin”, kami memberi ruang-ruang kreasi bagi anak-anak dalam proses belajarnya.
Mereka bisa menikmati dongeng yang dibawakan dengan menyenangkan, belajar kosa kata lewat flash card, dan mulai membuat cerita mereka sendiri.
Bahkan bisa diterbitkan melalui program Kids Publish StoryChopsticks.
Let's join our trial class